Polemik Berkurban


Peringatan idul adha yang bertepatan pada tanggal 10 dzulhijjah tahun hijriah adalah sebuah peringatan hari bersejarah bagi umat muslim sedunia. Di mana pada hari itu dulu sekali tepatnya pada jaman nabi Ibrahim dan Ismail, terjadi sebuah dilemma besar bagi dua orang itu. Yaitu tatkala nabi Ibrahim diwahyukan oleh Allah SWT untuk menyemblih Ismail anaknya. Pada awalnya terjadi dilema di hati nabi Ibrahim untuk menyembelih anak , namun Karena keteguhannya dan kepatuhan akan wahyu Allah SWT, akhirnya ia rela melakukannya. Namun di detik2 akhir penyembelihan itu yaitu pada saat pedang hampir memotong leher nabi Ismail, malaikat jibril datang setelah diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyampaikan wahyu bahwa itu hanyalah sebuah ujian dari Allah untuk menguji keimanan kedua manusia itu. Sebesar apakah mereka berani berkorban demi melaksanakan perintah Allah SWT. Dan hari itu akhirnya di nobatkan sebagai hari raya kurban atau Idul Adha.

Itu adalah sebuah cerita lama yang sering saya dengar dan berulang kali saya baca saat saya masih sekolah dasar. Inti dari cerita di atas adalah sebuah pengorbanan tanpa pamrih. Begitu menarik dan mengharukan cerita di atas, dan sebuah pertanyaan besar jika kita berada di posisi kedua manusia itu, mampukah kita? Relakah kita? Atau iklas kah kita? Banyak sekali manusia sekarang memberi dengan mengharapkan imbalan, pamrih atau apalah namanya yang dapat menciptakan sebuah kondisi mutualisme di pandangan orang itu sendir, klo beri satu harus dapat satu, beri dua harus dapat dua, malahan ada yang ngasih satu minta nya 10 >> maksa lagi(wah tak tahu adat manusia seperti itu). Bawa ke lapangan langsung saja di rajam, atau ikat tangan kaki erat2 kasih goresan sedikit biAR berdarah, lalu lempar ke lautan yang banyak ikan hiunya , astagfirullah). Seberapa banyak dari kita yang mampu memberi tanpa harus meminta kembali, tak perlu kita berikan satu nyawa, tak perlu kita berikan segudang harta, bisa kah kita mulai dengan senyum,bergerak cepat untuk menolong saat kita melihat ada yang jatuh, membuang sampah pada tempatnya, atau apapun yang dapat membantu meringankan beban orang lain.

Hal paling ironis adalah kepada mereka yang telah mendapat sekian banyak gelar pendidikan seabrek-abrek, nilai pendidikan moral dan pancasila di rapor 90, dan terkadang mereka yang telah mendapat siraman pendidikan agama islam yang mantap, masih dapat saya nilai tidak mampu berkorban untuk orang lain tanpa pamrih, saya punya cerita lain tentang itu.

Saya pernah mendengar cerita kakak saya, tentang sebuah kecelakaan kecil di salah satu sudut keramaian kota Jakarta, ada sebuah motor yang melanggar peraturan lalu lintas dengan memasuki jalur busway, dan saat ia telah masuk ke jalur, tanpa ia sadari ada sebuah batu yang tergeletak begitu saja di jalanan, telah ia tabrak yang membuat ban depan motornya menjadi tidak stabil ia terjatuh di situ . Normalnya orang yang lewat situ ataupun yang melihat akan segera menolong, namun kenyataannya tidak satupun dari mereka yang berinisiatif menolong, hingga tak berapa lama ia berdiri sendiri dan mau menjalankan kembali motornya dan “selamat siang, Pak.” Seorang Polantas menghampiri, dan ia pun dengan tubuh luka dibawa oleh polantas pergi, tentunya ke kantor polisi, mungkin sebelumnya ke rumah sakit dulu, saat itu kebetulan kakak saya yang merupakan orang baru di Jakarta bertanya kepada salah satu orang yang berada di dekat situ,”kok ga ada yang nolong ya?” . “ wah susah pak, nanti saya disuruh jadi saksi, orang dia melanggar pembatas jalan, ia sendiri tuh yang salah”..

Bukan salahnya yang harus jadi sasaran, namun di saat ia terjatuh itulah seharusnya kita membantu. Dan semakin hari mungkin rasa kepedulian itu akan punah, namun entahlah segala sesuatu di dunia ini tak ada yang pasti. Hanya Tuhan yang tahu…………

0 komentar:

Posting Komentar

Bagus ga?kasih komen yau